REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Waktu pertama kali belajar tentang
ilmu ekonomi, ada sebuah prinsip yang sangat populer dan hampir setiap orang
hapal di luar kepala.
Prinsip ekonomi tersebut adalah dengan pengorbanan
sekecil-kecilnya untuk memperoleh hasil sebesar-besarnya
Gaya Hidup Milenial dalam Memutar Otak Mengatur Keuangannya |
Sebuah prinsip berpikir kapitalistik yang telah mengakar pada kita bertahun-tahun.
Prinsip ini, dalam konteks periklanan masih sangat relevan jika kita jalan-jalan ke beberapa pusat perbelanjaan.
Kata 'sakti' tersebut adalah diskon 70 persen.
Padahal, jika kita mau bijak sedikit, yang namanya diskon selalu ada tiap hari.
Hanya karena kita sudah dijerat dengan kata 'sakti' tersebut, seakan-akan ada sebuah desakan untuk memilikinya. Sekarang juga.
Dan prinsip ekonomi di atas, menggambarkan bahwa manusia selalu 'mencari nikmat dan menghindari sengsara' adalah sebuah kelaziman di zaman ini.
Pengertian Budgeting
Budgeting berasal dari Bahasa Inggris yang berarti penganggaran, pendanaan atau pembiayaan. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) daring, bujet adalah anggaran pemasukan dan pengeluaran uang/anggaran belanja.
Bisa juga berarti rencana anggaran terperinci sebagai pedoman untuk menjalankan operasi pada masa yang akan datang dan juga digunakan sebagai dasar untuk melakukan penilaian atas pelaksanaannya.
Pertanyaannya, mengapa kita perlu membuat bujet?
Tentunya agar bisa mewujudkan mimpi-mimpi keuangan kita.
Sebut saja dua kata kunci gaya hidup anak milenial, yakni:
1. Ingin diakui dalam komunitasnya, misalnya via media sosial
Bagi anak milenial, kuota/pulsa/data internet dengan baterai penuh adalah sebuah kebutuhan.
Mereka bisa mati gaya jika tanpa ponselnya.
Konsekuensinya mereka akan tetap eksis, memperlihatkan aktivitasnya agar diakui teman-teman atau di media sosial.
Dan itu memerlukan biaya yang tidak sedikit.
2. Ingin punya kepastian secara instan
Jika di zaman 'kolonial' (baca: generasi Baby Boomer dan Gen X), orang perlu berkarier puluhan tahun agar bisa sukses, hari ini di zaman milenial, untuk menjadi sukses itu bisa lebih cepat dan serba instan.
Cukup unggah video yang membuat orang 'penasaran' di YouTube. Atau gambar-gambar indah di Instagram dan media sosial yang lain, lalu perbanyak orang yang menonton atau melihatnya, bikin interaksi dengan penonton, maka uang puluhan juta per bulan bukanlah sebuah hal yang aneh yang mereka dapatkan.
Teknologi memudahkan dan memanjakan mereka.
Bandingkan dengan anak 'kolonial' yang butuh kerja keras puluhan tahun untuk bisa mencapai pemasukan puluhan juta.
Bagaimanapun, anak-anak milenial ini dengan segala kreativitasnya, membuat berdecak kagum orang-orang di sekitarnya.
Maka fenomena selebritas di YouTube, Instagram dan media sosial yang lainnya sudah jamak di masyarakat kita.
Bagaimana cara anak-anak milenial ini membelanjakan uang mereka?
Sahabat, yang namanya pendapatan itu terbatas, sementara keinginan itu tidak terbatas. Bahkan keinginan sudah ada sebelum uangnya ada.
Mari kita bedah dulu piramida tujuan keuangan (Financial Goal Pyramids) :
1. Cash flow
Apakah selama ini pendapatan kita "besar pasak dari pada tiang"? Lebih banyak mana, pendapatan atau pengeluaran kita?
Jika pengeluaran lebih banyak dari pendapatan, maka melakukan recovery keuangan layak dikemukakan. Pasti ada yang salah dengan manajemen pengelolaan keuangan diri kita.
Jika ternyata pendapatan kita lebih kecil hari ini, berarti kita perlu pindah ke profesi baru atau pendapatan lainnya kita naikkan, jadi tidak cukup dengan 1 pendapatan saja. Jika pendapatan sudah di atas UMR atau bahkan lebih, maka gaya hidup kita perlu dicurigai.
Jangan-jangan, karena gaya hidup inilah pangkal masalahnya. Berarti perlu melakukan terapi diet keuangan, agar cash flow kita menjadi normal kembali.
2. Debt
Jebakan anak-anak milenial yang sudah berpenghasilan adalah ambil dulu barangnya, bayar belakangan dan nanti pikirkan solusinya. Karena aktivitas di atas jadi sebuah pola, maka lama-lama, utang adalah sebuah kebiasaan dan sebuah kewajaran.
Jika tidak dengan utang, kapan lagi punya barang, kilahnya.
Kalau dulu utang itu bernama kartu kredit, hari ini dengan Teknologi FinTech dalam Peer to Peer Lending dan Pay later, sebuah metode memiliki di awal bayarnya nanti, tetapi bisa menjerat selamanya. Terutama bagi yang belum melek keuangan dan tidak bijaksana menggunakannya.
Bayangkan agar di bilang eksis, pola kehidupan konsumtif menjadi 'pameran' kemewahan via media sosial. Padahal, tanpa itupun kita bisa tetap eksis, eksis yang bermartabat artinya eksis yang menghasilkan uang.
3. Saving
Saving atau menabung adalah menyisihkan sebagian uang kita buat masa depan. Beda dengan simpanan yang sebatas menyimpan buat hari ini atau bulan ini saja.
Jika simpanan secara horizon
waktunya hanya jangka pendek atau sangat pendek, sementara menabung horizon
waktunya untuk jangka menengah.
Misalnya kita memiliki uang dari gaji atau
komisi atau pendapatan lainnya, kita letakkan uang tersebut di rekening atau
amplop di rumah kita, lalu kita belanjakan atau kita ambil uang tersebut untuk
kebutuhan rutin harian, pekanan atau bulanan kita, ini kategorinya simpanan.
Sementara jika kita alokasikan buat
dana darurat atau aset lancar kita lainnya, ini kategorinya adalah menabung.
Menabung ini, harus kita biasakan
layaknya kita menyimpan uang di rekening. Agar sewaktu-waktu kita mau
berinvestasi, uangnya sudah tersedia dari hasil kebiasaan menabung.
Untuk investasi dari leher ke atas,
kita bisa juga mengambil dari uang tabungan tersebut, yang tidak akan
mengganggu uang simpanan buat kebutuhan bulanan kita.
Pertanyaannya, apakah
kita sudah secara rutin menabung buat masa depan keuangan kita hari ini?
4. Taxes
Salah satu pendapatan negara berasal
dari pajak. Pajak memberikan kontribusi pembangunan ekonomi suatu bangsa.
Pemahaman tentang pajak sebaiknya
dipahami setiap individu agar bisa mengefisienkan beban pajak melalui pemilihan
alternatif pengenaan pajak dengan tarif yang lebih rendah, misalnya pemberian
natura (setiap balas jasa yang diterima atau diperoleh pegawai, karyawan, atau
karyawati dan atau keluarganya tidak dalam bentuk uang dari pemberi kerja)
kepada karyawan pada umumnya tidak diperkenankan untuk dibebankan sebagai biaya
dalam menghitung PPh badan.
Dan strategi dalam tax planning (perencanaan pajak) ini
dapat ditempuh untuk mengefisienkan beban pajak kita secara legal. Misalnya
dengan memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), menyatukan NPWP suami istri
yang sama-sama bekerja dan tidak memiliki perjanjian pemisahan harta.
Apalagi sekarang cara legal
mengurangi beban pajak yakni dengan melalui pembayaran zakat atau sumbangan
keagamaan.
5. Investment performance
Setiap investasi ada ilmunya, dan
setiap investasi memiliki karakteristik yang berbeda. Selain itu juga,
tipikal kita sebagai investor akan menentukan bentuk investasi kita.
Jika dahulu orang tua kita hanya
mengenal 3 bentuk investasi, yakni tanah, emas dan padi/palawija, mereka
melakukannya berdasarkan melihat hasil orang tuanya. Walau mereka tidak
memahami, tapi karena mereka sudah melihat hasilnya, mereka percaya saja untuk
berinvestasi.
Hari ini, pilihan investasi tidak
saja dalam bidang real asset seperti
di atas. Tetapi juga ada yang namanya intellectual
asset, portfolio asset, business asset dan lainnya.
Intinya, agar kinerja investasi ini
bisa kita pahami, maka harus ada pembandingnya dengan hasil masa lalunya atau
investasi sejenis sebagai sebuah panduan, baik fundamental ataupun teknikal.
Minimal, ketika kita berinvestasi
kita tahu risiko dan bagaimana meminimalisir risiko tersebut bahkan tahu juga
bagaimana mendapatkan imbal hasil yang besar dan tinggi.
6. Optimizing returns
Inti dari investasi adalah
bertumbuh, apakah dalam bentuk pendapatan tetap atau arus kas (cash flow) ataukah pertumbuhan atau
kenaikan modal.
Dengan arus kas kita bisa mengoptimalkan hasilnya untuk
berinvestasi di tempat lain, sementara kenaikan modal adalah strategi agar
kekayaan kita tetap bertambah dan sewaktu-waktu bisa kita cairkan dalam kondisi
lebih besar dari modal awal.
Baik kinerja investasi (investment performance) ataupun
optimalisasi hasil investasi (optimizing
returns) akan lebih cepat mewujudkan tujuan keuangan kita. Semakin lama
kita berinvestasi, maka hasilnya akan signifikan, walau tetap melihat
pergerakan dan tujuan keuangan kita.
Setelah kita memahami prioritas
dengan pendekatan piramida tujuan keuangan, maka kita mulai melakukan hukum
manajemen penganggaran keuangan bagi milenial.
Bersambung ke bagian 2......
Bersambung ke bagian 2......
Kolom ini diasuh oleh WealthFlow
19 Technology Inc.,Motivation, Financial & Business Advisory (Lembaga
Motivasi dan Perencana Keuangan Independen berbasis Sosial-Spiritual
Komunitas). Pertanyaan kirim ke email : uang@rol.republika.co.id
SMS 0815 1999 4916.
Hari 'Soul' Putra
Managing Director WealthFlow 19 Technology
www.P3KCheckup.com
Founder IBC/Indonesian Business Community
Motivator Keuangan Indonesia
0815 1999 4916
Hari 'Soul' Putra
Managing Director WealthFlow 19 Technology
www.P3KCheckup.com
Founder IBC/Indonesian Business Community
Motivator Keuangan Indonesia
0815 1999 4916
#SpiritualFinance
#KetenanganKeuangan
#MotivasiKeuangan
#TerapiKeuangan
#TerapiCashFlow